MUSTAHIL JABATAN POLITIK TANPA MONEY POLITIK

oleh

Oleh : Aris Setia Budi
(Mantan Ketua HIMAPTA Padang)

PESTA Demokrasi Pemilihan Umum 17 April 2019 telah selesai dilaksanakan. Walaupun hasinya sudah tau siapa yang akan mengisi kursi pada DPRD Merangin 2019 – 2024, kepastiannya masih menunggu keputusan resmi dari KPUD.

Pemilu merupakan kontestasi politik
untuk merebut hati dan simpati rakyat tentunya dengan jalan yang tidak menyalahi hukum yang berlaku.

Momen ini wajar disimbolkan sebagai pesta bagi rakyat, sebab pada saat inilah rakyat mengkoreksi atas apa yang telah terjadi selama lima tahun yang lalu.

Selanjutnya menentukan sikapnya untuk yang lebih baik pada lima tahun yang akan datang. Dalam situasi ini suara rakyat menjadi penentu bagi kesejahteraanya lima tahun
yang akan datang.

Baiknya proses tersebut dimulai dari mempertimbangkan calon yang
memiliki visi, program dan mempunyai kapasitas untuk mewakili suaranya diperlemen.

Karena proses yang baik akan menuju hasil yang baik pula, sebaliknya proses yang salah akan menuju hasil yang buruk kedepanya. Yang terjadi dilapangan seperti bersama – sama kita saksikan bahwa dalam prosesnya
para politisi menggunakan bermacam cara untuk mendulang suara agar memenangkan kompetisi meskipun menyalahi hukum yang berlaku.

Misalnya, bagi – bagi uang kepada
pemilih jelas melanggar hukum namun, dengan perekonomian masyarakat yang sedang susah maka tawaran tersebut akan diterima sehingga memberikan suara akan menjadi
bentuk balas jasa mereka kepada calon yang memberikan uang.

Jumlah yang diberikan beragam mulai dari Rp. 100.000 hingga Rp. 150.000/orang. Situasi ini mungkin akan terjadi secara berulang – ulang pada setiap pemilihan untuk jabatan politik pada tingkat apapun di Kabupaten Merangin.

Bila begini, selamanya pesta demokrasi menjadi momen bagi – bagi uang saja dan tidak lagi melihat visi, program dan kapasitas calon tersebut dalam mewakili suara mereka.

Ada benarnya beberapa orang pernah berpendapat untuk menang pada kompetisi politik dilihat dari kapasitas, elektabilitas dan isi tas.

Saya fikir point ke 3 adalah kunci dari semuanya. Apabila budaya yang tercipta seperti ini, maka jelaslah siapa wajah – wajah yang akan mengisi jabatan politik khususnya di Kabupaten Merangin.

Pelanggaran yang nyata terjadi ini, seolah – olah biasa dilakukan. Sehingga, petugas Pemilu pun bungkam untuk menindak apalagi mencegah.

Buktinya tidak ada yang tertangkap sampai saat ini. Jelaslah, apabila mendiamkan kesalahan maka akibatnya akan dirasakan lima tahun yang akan datang.

Bagi pemenang lima tahun ini menjadi momen balas dendam atas semua yang mereka berikan. Tentu balik modal saja tidak cukup, pasti untung, mana ada yang mau rugi.

Dampak yang paling besar tentu akan dirasakan oleh rakyat. Menjual suara sama halnya menjual kesejahteraan kita lima tahun yang akan datang. Tidak sebanding harga suara yang dibayar dengan kenyataan yang dirasakan pada lima tahun yang akan datang.

Wajar bila banyak perencanaan pekerjaan yang tidak selesai atau pengadaan dan pembangunan dari sektor apapun yang terbagkalai.

Sebab, orientasinya bukan pada hasil
tapi pada bisnis sebagai harga yang harus dibayar atas apa yang telah mereka berikan tersebut.

Maka cita – cita pemilu yang berkualitas untuk melahirkan pemimpin pada posisi jabatan politik yang memiliki kualitas sulit tercapai, bila serangkaian pemilu gagal kita koreksi dan tidak mau belajar atas kesalahan yang berulang – ulang terjadi. (*)