Kenapa Gubernur Korbankan Media

oleh

Oleh Joni Rizal*

SEBUAH pesan diikuti link berita dengan judul Pemprov Jambi Tambah Rp 200 Miliar untuk Penanganan Covid-19, Total Rp 211 Miliar meluncur di salah satu grup WhatsApp, beberapa minggu lalu. Seseorang menyambar dengan ucapan, “Mantab!” diikuti emoticon jempol berwarna kuning langsat.

Dana sebanyak itu akan dihabiskan untuk lima prioritas kegiatan, termasuk di dalamnya penangan dampak di bidang ekonomi, bantuan bagi usaha dan industri kecil, jaring pengaman sosial, serta insentif bagi para tenaga medis yang berada di “garda terdepan” penanganan Covid-19.

Gubernur Fachrori Umar dengan bangga menyampaikan apresiasi atas dukungan DPRD Provinsi Jambi terhadap pengalihan anggaran tersebut. Para pimpinan DPRD pun sumringah.

Di sebuah chat japri alias jalur pribadi ke saya, seseorang mengirim pesan dengan nada mengeluh: Dana Humas Setda Provinsi Jambi dipangkas nyaris habis: dari Rp 5,8 miliar menjadi Rp 1,7 miliar.
Ini pemangkasan kedua menyusul refocusing anggaran untuk Covid-19.

Beberapa bulan sebelumnya, anggaran Humas sudah dipangkas sangat besar, yakni Rp 6 miliar dari Rp 11,8 miliar sehingga menyisakan Rp 5,8 miliar. Yang terakhir inilah yang kena sikat lagi.

Tidak banyak lagi yang bisa dikerjasamakan dengan media. Bahkan, tidak ada yang bisa dibayarkan. Tagihan dari berbagai media menumpuk di ruang Humas, mulai dari invoice April, Mei hingga Juni 2020.

Ini menjelang pertengahan Juli dan tanda-tanda tagihan tiga bulan itu akan dibayarkan pun tak terlihat.

Jauh sebelum refocusing anggaran, di awal-awal Covid-19 merebak di Tanah Air, saya sudah mengingatkan rekan-rekan media akan kemungkinan ini.

Kepada rekan-rekan seprofesi di Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jambi saya sampaikan agar media tidak terlena dengan bantuan-bantuan sesaat yang bakal melipir, seperti paket kain sarung menjelang Lebaran atau bantuan sembako disertai sekotak dua kotak masker atau hand sanitizer.

“Tidak begitu ‘cara mainnya’,” tegas saya.
Kehadiran Covid-19 bagi saya adalah perang. Serdadu di garis depan, yang disebut sebagai “garda terdepan” itu, kita semua setuju adalah para tenaga medis.

Seperti perang kebanyakan, media berada persis di belakang serdadu, meliput langsung di jantung pertempuran.

Sekali peluru menembus serdadu garis depan, maka target selanjutnya adalah para kuli pemberi kabar.

Saya meminta rekan-rekan aktivis organisasi media menyampaikan analogi ini ke berbagai pihak agar media turut menjadi perhatian.

Namun, tampaknya, tentu saja, analogi ini tidak sampai ke Gubernur Jambi, para bupati dan walikota, juga wakil rakyat di gedung DPRD. Kalau pun sampai mungkin tidak ada yang peduli. Toh, wartawan dianggap sama dengan orang kebanyakan. Tidak perlu perhatian khusus seperti kepada para tenaga medis.

Saya menulis kali ini tidak untuk mengimbau pemerintah memberi media perhatian khusus.
Ketika hoaks tentang Covid-19 berseliweran di mana-mana, yang berpotensi membuat gaduh, meresahkan, mengganggu ketenteraman, media melakukan verifikasi dan menebar berita berbasis fakta.

Berada dipusat dan pusaran pandemi, wartawan meliput dan melaporkan secara jelas apa dan bagaimana pemerintah menangani ancaman virus mematikan ini –bahkan terkadang dengan menutupi kekurang-cakapan, kekurang-sigapan dan kegamanangan petugas di lapangan.

Media menyebarluaskan panduan pemerintah tentang antisipasi dini Covid-19, baik untuk kelompok masyarakat dan individu di rumah, di tempat kerja, serta di tempat-tempat umum.

Media meliput dan melaporkan realtime jam per jam, hari per hari jumlah penderita dan sebaran Covid-19 sehingga masyarakat luas mendapat informasi lebih cepat dan bisa lebih berhati-hati. Media menjadi pengingat yang komprehensif dan kredibel.

Tidakkah peran-peran itu layak dipertimbangkan sebagai pekerjaan penting, penuh risiko dan berdampak positif nan masif bagi pemerintah dan masyarakat luas? Butuh kesamaan persepsi untuk menilainya secara proporsional.

Media-media online belakangan tumbuh subur –menyusul semakin redupnya media cetak–, baik yang serius maupun abal-abal. Dengan bantuan media sosial, media online memviralkan berita dengan sangat mudah, menjangkau manusia di gunung bahkan di lautan sekalipun.

Eksistensinya mulai diapresiasi oleh organisasi pelaksanaan kehumasan di berbagai instansi, diakomodir dalam skema kerja sama pemberitaan dan penyampaian informasi.

Namun, tidak sedikit yang menganggapnya remeh, temeh dan retjeh. Indikatornya adalah pengkebirian anggaran kehumasan pemerintah daerah disertai upaya mempersulit syarat sebagai mitra kerja.

Di Kabupaten Merangin, misalnya, anggaran kerja sama dengan satu media online hanya Rp 4 juta setahun. Artinya hanya sekitar Rp 350 ribu per bulan. Ini bukan bantuan, bukan subsidi, bukan hibah, tetapi pembayaran atas kerja sama pemberitaan dan penyampaian informasi!

Kini, kebijakan seperti itu diduplikasi oleh Gubernur Jambi. Dengan pemangkasan anggaran Humas berkali-kali itu tergambar betapa tidak pentingnya media bagi Gubernur Fachrori dan jajarannya.

Kita setuju pandemi Covid-19 memerlukan penanganan serius dan dana besar –asalkan tidak dikorupsi, tentu saja!

Tetapi, Rp 211 miliar itu sama sekali tidak menyentuh media yang berada di lapis kedua perang melawan virus mematikan ini. Niatnya meredam keresahan dan menjaga stabilitas ekonomi, tetapi memunculkan keresahan dan tekanan ekonomi di sisi lain.

Padahal, sekali lagi, media tidak memerlukan perhatian khusus, tetapi cukuplah saja tidak menjadi korban pemangkasan anggaran.

*) Penulis adalah wartawan senior, penanggung jawab Jurnaljambi.co.