Warsi: Security PT SAL Serang Orang Rimba, 11 Pondok Dirusak

oleh

JURNALJAMBI.CO, Merangin – Ditengah wabah corona, Orang Rimba yang semula tinggal didalam hutan mulai kesulitan pangan. Mereka memilih untuk tinggal dibawah kebun milik perkebunan kelapa sawit.

Kondisi mereka semakin sulit dengan tidak adanya empati dari perusahaan terhadap Orang Rimba. Seperti yang dialami oleh kelompok Sikar di Desa Muara Delang Kecamatan Tabir Selatan Kabupaten Merangin.

Hingga akhirnya, mereka memilih mengambil brondol di kebun milik perusahaan yang kemudian dijual dengan harga Rp 800 per kilogram. Brondol adalah, buah kelapa sawit yang jatuh dari tandannya. Bentuknya seperti buah kurma.

Hanya karena mengambil brondol itu, Security PT Sari Aditya Loka (SAL) Astra Group tega menyerang permukiman Orang Rimba dan merusak 11 pondok. Tak hanya merusak pondok, baju milik Orang Rimba pun ikut menjadi korban. Penyerangan itu terjadi pada Selasa (12/05).

Insiden penyerangan itu terjadi ketika anggota kelompok Sikar yang berencana mengambil brondol sawit di kebun PT SAL. Mereka adalah Begendang, Parang, Bujang Kecik, Mak Erot, Betenda, Nenek, Natas dan Ebun. Belum sempat memungut brondol, Orang Rimba ini bertemu dengan satpam (security) perusahaan. Mereka dihadang dan disuruh balik (pulang).

“Kami disuruh putar balik, kami nurut bae lah (ikut saja),” kata Begendang.

Setelah disuruh putar balik, rombongan Orang Rimba mengikuti perintah dan langsung balik. Hanya, saja satpam PT SAL masih mengiringi mereka dari belakang. Dari sinilah akhirnya timbul keributan.

Tidak berhenti sampai disitu, bentrokan pun berlanjut sampai ke pemukiman Orang Rimba di Sungai Mendelang. Akibatnya, sudung (pondok) dan pakaian Orang Rimba dirusak.

“Termasuk satu motor kanti dibawa orang itu,” kata Tumenggung Sikar pimpinan Orang Rimba Sungai Mendelang. Motor Orang Rimba yang dibawa ini kabarnya ditempatkan dikantor polisi.

Sikar menyebutkan, Orang Rimba mengambil brondol karena perkebunan tersebut berdiri di hutan yang dahulunya rumah mereka. Secara sepihak perusahaan menggantinya dengan sawit, sehingga Orang Rimba yang sudah disana tetap bertahan dibawah batang-batang sawit.

“Kami sudah kehilangan sumber penghidupan kami, hopi ado nang bisa di makon, apolagi musim sakin mumpanio, hopi ado nang membeli bebi kami (tidak ado yang bisa dimakan, sejak musim wabah, tidak ada yang membeli babi kami),” kata Sikar.

Baca juga:

PT SAL Sebut Tak Ada Penyerangan Pada Orang Rimba, Begini Klarifikasinya…

Persoalan Orang Rimba dengan perusahaan PT SAL sudah terjadi sejak tahun 1990-an, sejak hutan lebat itu menjadi rumah yang nyaman bagi Orang Rimba, kemudian berubah menjadi kebun sawit tanpa memperhitungkan Orang Rimba yang ada di dalamnya. Akibatnya konflik berkepanjangan terus terjadi.

“Kami sungguh menyayangkan, persoalan ini terus berulang karena ketidakpekaan perusahaan dengan Orang Rimba yang ada didalam perusahaan mereka,” kata Robert Aritonang Antropolog KKI Warsi.

Robert menyebutkan persoalan mendasar dari konflik ini adalah ketidakadilan yang diterima Orang Rimba. Mereka tidak dijadikan sebagai bagian dari perubahan yang dilakukan di hutan yang menjadi sumber penghidupan mereka,” kata Robert.

Jika dilihat kasusnya, seolah Orang Rimba yang dianggap mencuri dan perusahaan bisa sewenang-wenang untuk menyerang mereka, menghancurkan rumahnya dan mengambil sepeda motor mereka.

“Orang Rimba diperlakukan seolah tidak ada harganya, perlakuan mereka pada Orang Rimba benar-benar telah melecehkan nilai-nilai kemanusiaan,”sebut Robert.

Robert menyebutkan nasib yang dialami Kelompok Sikar, akan terus berulang jika tidak ada penyelesaian yang memberikan ruang untuk Orang Rimba.

“Akan terus berulang, bentrok hari ini, besok bentrok lagi, diselesaikan, akan terus berulang, karena inti persoalannya tidak pernah disentuh,” katanya.

Dikatakan Robert, Orang Rimba di Jambi terdapat 441 keluarga yang hidup dalam perkebunan sawit dan 230 di dalam kawasan hutan tanaman industri (HTI).

“Ini merupakan kelompok rentan dan mengalami kesulitan melanjutkan hidup, kesulitan mendapatkan pangan yang   baik dan kesulitan meningkatkan derajat kehidupan melalui pendidikan dan layanan kesehatan yang memadai,” katanya.

Robert berharap negara hadir memberikan jaminan untuk Orang Rimba sebagaimana jaminan diberikan pada masyarakat lainnya.

“Apalagi di musim wabah ini, Orang Rimba sangat rentan terhadap wabah, juga sangat rentan mengalami kesulitan pangan, harusnya mereka masuk kelompok yang dilindungi perusahaan, bagaimanapun perusahaan yang hadir di hutan mereka, bukan mereka yang menumpang di sana, itu yang harusnya di pahami perusahaan,” bebernya.

Salah satu bukti kesewenang-wenangan PT Sari Aditya Loka (SAL) ASTRA Group, perusahaan yang sudah bergelimang keuntungan sejak berdiri di hutan Orang Rimba tahun 1990-an adalah dengan adanya pengrusakan 11 pondok Orang Rimba didalam kebun pada Selasa taggal 12 Mei 2020 lalu.  Alasannya, Orang Rimba mengambil atau maling brondol sawit.

Brondol sawit adalah  buah sawit yang lepas dari tandannya. Sebesar buah kurma. Bayangkan berapa lama bisa mengumpulkannya untuk jadi sekilo dan dijual Rp 800 perkilogram. Tidak sampai seharga sebutir telur.

Apalagi ditengah pandemi, Orang Rimba sangat sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Jual hewan buruan tidak laku karena beredar kabar hewan buruan menularkan penyakit. Umbi tidak ada di kebun sawit. Brondol hanya harapan untuk membeli sekilo dua kilo beras. (*)

Sumber: KKI Warsi