Kenapa KPK Tidak Geledah Ruangan Imam Nahrawi Saat OTT?

oleh
Penyidik menunjukkan barang bukti uang saat konferensi pers terkait Operasi Tangkap Tangan kasus korupsi pejabat pada Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) serta pengurus Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (19/12/2018) malam. ANTARA FOTO/Galih Pradipta

JURNALJAMBI.CO- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) dan kantor Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI), Kamis (20/12) siang hingga sore. Salah satu yang digeledah adalah ruang kerja Menpora Imam Nahrawi.

Namun, penggeledahan ruangan Imam ini dilakukan sehari setelah operasi tangkap tangan (OTT) KPK, pada Selasa (18/12/2018) malam.

“Ada penggeledahan dari siang sampai sore di beberapa ruangan di Kemenpora termasuk ruang menteri, deputi dan ruang lain serta kantor KONI,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung Merah Putih, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (20/12/2018).

Penggeledahan dilakukan terkait perkara korupsi dana hibah dari pemerintah ke KONI melalui Kemenpora.

Dalam kasus ini, lima orang telah ditetapkan menjadi tersangka, pada Rabu (19/12/2018). Tiga di antaranya merupakan anak buah Imam Nahrawi, yaitu: Deputi IV Bidang Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Mulyana; Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kemenpora Adhi Purnomo; dan Staf Kementerian Pemuda dan Olahraga Eko Triyanto.

Sementara dua orang lainnya adalah Sekretaris Jenderal KONI Ending Fuad Hamidy dan Bendahara Umum KONI Johnny E. Awuy. Keduanya diduga sebagai pemberi suap.

Dari penggeledahan itu, tim KPK menyita sejumlah dokumen yang diduga terkait perkara ini. Secara spesifik dari ruangan Imam Nahrawi, KPK menyita sejumlah proposal dan dokumen terkait dana hibah yang diajukan KONI.

“Nanti tentu kami pelajari dokumen-dokumen itu, ada proposal hibah juga yang kami amankan dan sita nanti dipelajari lagi untuk kebutuhan pemanggilan saksi di tahap berikutnya,” kata mantan aktivis ICW ini.

Ruangan Menteri Imam Tidak Digeledah Saat OTT

Penggeledahan yang dilakukan selang beberapa jam setelah operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK, menuai tanda tanya. Bagaimana jika pihak terkait telah memusnahkan barang bukti?

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang tidak mau ambil pusing mengenai kekhawatiran itu. Saut hanya mengatakan penyidik memiliki pertimbangan ketika menentukan waktu penggeledahan.

“Penyidik yang memahami benar kasusnya, dan memiliki pertimbangan tentang hal itu,” kata Saut lewat keterangan tertulis kepada reporter Tirto, Jumat (21/12/2018).

Juru Bicara KPK Febri Diansyah pun mengatakan, penyidik sudah menyegel ruangan sebelum penggeledahan dilakukan. Ruang yang disegel antara lain, ruangan deputi, ruangan asisten deputi, dan ruangan PPK.

Soal penggeledahan ini, Pasal 32 sampai Pasal 38 UU Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah mengatur prosedur penggeledahan ini. Di sana dikatakan, “untuk melakukan penggeledahan diperlukan izin tertulis dari ketua pengadilan setempat.”

Jika penggeledahan diizinkan tersangka atau penghuni, maka hanya perlu disaksikan dua saksi. Jika tersangka atau penghuni tidak menyetujuinya, maka diperlukan tambahan seorang saksi yakni ketua lingkungan setempat.

Dalam “keadaan yang sangat perlu dan mendesak”, penyidik bisa menggeledah tanpa surat izin ketua pengadilan. Namun, penggeledahan terbatas hanya dilakukan di halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada dan yang ada di atasnya; pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada; di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya; di tempat penginapan dan tempat umum lainnya.

Sementara yang dimaksud “keadaan yang sangat perlu dan mendesak” adalah ketika tersangka dikhawatirkan melarikan diri, mengulangi tindak pidananya, atau dikhawatirkan akan menghilangkan barang bukti.

Kendati begitu, dalam keadaan seperti ini, penyidik tidak diperkenankan menyita kecuali setelah mendapat persetujuan ketua pengadilan.

 

KPK Bidik Imam Nahrawi?

Penggeledahan yang dilakukan tim KPK di ruangan Imam diduga dilakukan lantaran penyidik menduga ada jejak perkara di ruang tersebut. Jejak ini diduga terkait dengan mekanisme pencairan dana hibah untuk KONI.

Dalam petunjuk teknis penyaluran bantuan ini (PDF) disebutkan, KONI harus menyampaikan proposal terlebih dahulu kepada Menpora, yang dalam hal ini adalah Imam Nahrawi.

Proposal itu kemudian akan didisposisikan Menpora kepada Deputi Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga yang dijabat Mulyana atau ke pejabat yang bertanggung jawab. Mulyana adalah tersangka dalam kasus ini.

Pada tahap ini, dana yang diminta belum akan cair. Proposal harus dikaji Asisten Deputi Peningkatan Tenaga dan Organisasi Keolahragaan dan/atau Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Kajian dilakukan terhadap administrasi dan substansi kegiatan.

Jika permohonan diterima, PPK akan menentukan besaran uang yang akan diberikan dan membuat perjanjian kerja sama yang ditandatangani PPK dan penerima bantuan.

Sejauh ini, KPK belum memberi keterangan apakah mereka sudah mendapati bukti atau keterangan terkait dugaan keterlibatan Imam. Namun KPK menemukan indikasi keterlibatan seseorang bernama Miftahul Ulum. Ia adalah asisten pribadi Imam Nahrawi.

“Memang peran yang bersangkutan [Miftahul] signifikan,” kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, kemarin.

Miftahul pun sempat datang ke KPK saat proses pemeriksaan terhadap Mulyana sedang dilakukan penyidik setelah OTT. Kuat dugaan, Miftahul turut terlibat dalam kasus ini, meskipun Saut menyebut “belum bisa simpulkan. Kami lihat dulu.”

Sementara itu, Imam Nahrawi mengaku tidak tahu soal program dana hibah dari kementeriannya ke KONI. Ia mengklaim tak pernah diminta disposisi.

“Itu saya juga belum tahu programnya karena belum pernah minta disposisi ke saya. Jadi belum pernah mengajukan surat ke saya,” kata Imam, di Jakarta, seperti dikutip dari Antara, Kamis (20/12/2018).

 

Sumber : tirto.id