Usai Akui Yerussalem Sebagai Ibukota Israel, Australia Keluarkan Travel Warning ke Indonesia

oleh

JURNALJAMBI.CO – Pengakuan Australia terhadap Yerussalem Barat sebagai Ibu Kota Israel mengundang reaksi keras masyarakat Indonesia. Sejak sepekan terakhir, sejumlah massa melakukan aksi demonstrasi di Kedubes Australia di Jakarta dan Konsulat Jenderal di Surabaya.

Mendapati reaksi tersebut, Pemerintah Australia, pada hari Sabtu (15/12/2018), mengeluarkan travel warning untuk para warganya yang akan bepergian dan berada di Indonesia. Imbauan waspada bagi pelancong Australia dikeluarkan Smart Traveller Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT) Australia yang dipublikasikan di Twitter.

“Latih tingkat kehati-hatian yang tinggi di Indonesia, termasuk di Bali, Surabaya dan Jakarta, karena tingginya ancaman serangan teroris. Perhatikan keamanan pribadi Anda setiap saat,” bunyi travel warning tersebut, yang dikutip SINDOnews.com dari akun Twitter resminya, @Smartraveller.

“Hindari protes, demonstrasi dan reli, yang dapat berubah menjadi kekerasan tanpa peringatan. Demonstrasi telah diadakan dalam beberapa minggu terakhir di sekitar Kedutaan Besar Australia di Jakarta dan Konsulat Jenderal Australia di Surabaya. Protes dapat berlanjut di Kedutaan Besar di Jakarta atau di Australia. Konsulat Jenderal di Surabaya, Bali dan Makassar. Waspadai lingkungan Anda,” lanjut travel warning tersebut.

Peringatan itu muncul ketika Perdana Menteri Scott Morrison membenarkan perubahan dalam kebijakan pemerintah Australia di Timur Tengah dengan mengakui Yerusalem Barat sebagai Ibu Kota Israel.

Namun, Morrison mengatakan, setiap relokasi Kedutaan Australia di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem akan ditunda sampai ada penyelesaian perdamaian dalam konflik Israel-Palestina.

Keputusan yang diumumkan pada Shabbat—hari doa dan istirahat kaum Yahudi—disambut oleh kelompok-kelompok Yahudi dengan badan perwakilan tertinggi Dewan Eksekutif Yahudi Australia (ECAJ) yang menyebutnya sebagai “terobosan”.

Pernyataan bersama yang dibuat oleh para CEO dan Presiden ECAJ, Anton Block, Peter Wertheim dan Alex Ryvchin mengatakan bahwa pengumuman Morrison adalah pengakuan sederhana yang kenyataannya sudah ada sejak tahun 1950. “Perdana Menteri pantas mendapat pujian karena menolak tekanan dari banyak pihak untuk mengambil langkah bahkan yang sederhana ini,” bunyi pernyataan mereka.

“Mengakui bahwa pusat pemerintahan Israel terletak di bagian barat kota, yang merupakan wilayah takhta Israel yang tak terbantahkan, tidak berdampak apa pun pada pra-penilaian status masa depan wilayah timur dan bagian lain yang diperebutkan oleh kota Israel itu pada 1967,” lanjut pernyataan tersebut, seperti dikutip SBS.com.au.

“Perdana Menteri mencatat bahwa status terakhir Yerusalem, termasuk perbatasannya adalah masalah status final yang harus diselesaikan antara kedua pihak.”

Reaksi Palestina

Duta Besar Palestina di Australia, Izzat Abdulhadi, mengatakan keputusan untuk menunda langkah relokasi kedutaan memberikan basis konstruktif untuk membalik posisi kebijakan luar negeri Australia di masa depan.

“Rencana Australia untuk menciptakan pusat pertahanan dan perdagangan di Yerusalem tidak memiliki arti diplomatik dan karenanya, ini adalah titik awal yang baik untuk dengan mudah membatalkan rencana pemindahan kedutaan sama sekali,” katanya kepada SBS Arabic24.

Dia menambahkan bahwa kerangka Morrison tentang masalah ini sebagai pengakuan Yerusalem Timur dan Barat sejalan dengan solusi dua negara tidak sesuai dengan posisi resmi Israel.

“Anekasi Israel atas Yerusalem Timur pada tahun 1980 merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional. Itu sebabnya komunitas internasional dan negara-negara Eropa, khususnya, bersatu dalam masalah ini dan tidak mengakui Yerusalem Barat sebagai Ibu Kota Israel,” ujarnya.

Presiden Indonesia Institute, Ross Taylor, mengkritik langkah Scott Morrison atas masalah ini.

“Penentuan dan penanganan Morrison atas masalah Kedutaan Besar Yerusalem sangat mengerikan,” katanya dalam pesan yang di-posting di Twitter.

“Kebijakan barunya, yang diumumkan hari ini, adalah hasil yang masuk akal yang diharapkannya. Namun, respons dari Indonesia akan diawasi dengan ketat,” ujarnya.

Indonesia telah menunda penyelesaian perjanjian perdagangan bebasnya dengan Australia sejak Perdana Menteri Scott Morrison pertama kali mengumumkan bahwa dia mempertimbangkan untuk memindahkan kedutaan Australia dari Tel Aviv ke Yerusalem.

Kesepakatan itu telah memakan waktu delapan tahun untuk dinegosiasikan dan akan bernilai USD16 miliar per tahun bagi Australia.

Pada bulan November, Menteri Perdagangan Indonesia Enggartiasto Lukita mengatakan sikap Australia yang berniat memindahkan kedutaannya ke Yerusalem sebagai merupakan alasan penunadaan penandatanganan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Australia-Indonesia. (*)

Sumber: sindonews.com